Pernah nggak sih, lo ngerasa hidup tiba-tiba kayak ditendang dari tebing tanpa ada tali pengikat? Bukan jatuh pelan-pelan, tapi langsung terjun bebas ke tempat yang gelap, dingin, dan bising oleh suara sendiri yang bertanya: "gimana bisa sampe sini?".
Dan ini bukan tentang jatuh biasa. Ini tentang kombinasi yang hampir sempurna dari kepercayaan yang dikhianati, keluarga yang begitu jauh, keadaan keuangan yang menipis lebih cepat, ditambah realitas sosial yang begitu ideal untuk keadaan rumit ini. Semuanya datang berbarengan, kayak kapal gw yang dihantam ombak dan tenggelam di laut terdalam. Gw seperti tertarik arus kuat dalam palung, semua upaya seperti nihil, bahkan hampir nggak bisa melihat cahaya sama sekali dari kedalaman.
Di titik itu, teori dari buku Factfulness atau strategi SEO nggak ada artinya. Yang ada cuma pertanyaan "apa bener gw nggak bisa naik lagi?"
Ternyata, di situasi paling dalam itu, mata dan telinga gw justru mulai beradaptasi. Perlahan, gw bisa melihat dalam gelap. Bisa mendengar hal-hal yang sebelumnya tersamar.
Testimoni sebuah buku menurut gw itu penting. Setidaknya itu yang gw lihat dari kebiasaan gw beli buku. Ada satu buku yang gw beli gegabah, tanpa baca detail di Google seperti biasa, karena testimoninya datang dari Bill Gates. Dia bilang, “Salah satu buku paling penting yang pernah saya baca. Panduan yang diperlukan untuk berpikir secara jernih tentang dunia”. Siapapun yang punya ide pakai strategi testimoni itu, itu ide yang benar-benar optimal mentargetkan persona user seperti gw. Gak sampai 60 detik, buku itu gw ambil dan bayar. Judulnya Factfulness karya Hans Rosling.
Tulisan ini bukan tentang buku Factfullness, lebih dari itu..
Dalam salah satu sub-bab dengan judul “Palu dan Paku”, beliau menulis bahwa “Ketika memiliki keahlian yang dihargai, Anda cenderung berusaha agar keahlian itu digunakan. Terkadang seorang pakar akan mencari-cari cara supaya pengetahuan dan keterampilan yang didapatkannya dengan susah payah dapat diterapkan lebih dari semestinya. Maka, orang-orang dengan keterampilan matematika bisa keranjingan dengan angka-angka”.
Paragraf itu masuk dan memukul gw dari dalam pikiran gw sendiri. Mebekas dan merusak hal-hal yang gw pahami dengan brutal. Sampai berulang-ulang gw harus baca, berharap gw salah pahami. Meskipun akhirnya gw tau, itu benar. Gw tersindir. Belakangan, gw harus terus ingatkan diri sendiri, untuk membatasi diskusi tentang SEO, tidak semua hal butuh SEO, tidak semua orang tertarik SEO, dan seterusnya.
Harus gw akui, sebelum baca buku itu, sebelum dapat awareness, kesombongan itu begitu tinggi. Gw menganggap diri lebih baik, utamanya dalam hal-hal yang gw kuasai. Dengan pemahaman itu, kadang gw memaksa membuat generalisasi. Semuanya seolah butuh SEO. Padahal nggak.
Nyatanya itu belum cukup.. Belum paham dengan baik
Tapi setelah gw renungin lagi, ternyata baca buku itu nggak cukup. Membacanya nggak serta-merta bikin gw paham. Gw baru benar-benar paham setelah tekanan demi tekanan gw lewati, masalah demi masalah gw selesaikan. Dua tahun ini menjadi tahun yang begitu intens dan membekas untuk gw. Rasanya begitu dalam, sampai gw hampir gak bisa balik ke permukaan. Sampai itu membuat gw harus balik lagi ke buku itu, nyari sub-bab itu, dan baru mulai mengerti apa maksudnya dan yang paling penting "bagaimana rasanya".
Saat gw sampai di titik ini, entah kenapa, sekarang gw bisa melihat hal-hal jadi lebih jelas, bikin umpan balik lebih baik, nerima keadaan dengan suka cita. Kalau gw renungi lagi, implikasinya ternyata masif.
Gw sampai ingin minta maaf, untuk mewakili semua orang yang membuat lo begitu
Akhir-akhir ini gw lebih sering ketemu orang dari ragam bidang, latar belakang, dan umur. Gw mulai melihat level mereka, bisa menjadi ukuran untuk diri gw sendiri.
Tapi yang paling gw kagumi adalah saat gw ketemu seorang pengusaha lokal di Malang. Umurnya jauh lebih muda, mungkin 6-8 tahun di bawah gw. Saat kami berlima diskusi (gw, dia dan kenalan kami), dengan tenang dia ngasih feedback yang sama kayak yang gw lakuin sekarang. Dengan lembut, dia mempu hadir jauh di atas umurnya dan memberikan kesan kuat ke temannya yang nada tingginya lagi naik, yang bikin persepsi tunggal, buta, dan mengabaikan keindahan hubungan mereka sebelumnya, dalam sekejap berubah jadi egois dan mengharap pengertian dari semua orang di sekitarnya. Sekali lagi, dia masih sangat muda.
Yang gw pikirkan saat itu adalah kehidupan seperti apa yang sudah dia lewati sampai bisa mengontrol diri di level segitu? Sementara gw butuh waktu sampai umur 33 tahun buat mampu sampai di titik itu. Di waktu yang sama, gw hampir nangis. Bukan karena bangga anak muda ini sudah paham, tapi karena gw membayangkan hal-hal seperti apa yang sudah dia lewatin di umur yang masih belia. Kesulitan seberapa dalam dan intens yang bikin dia sampai ke level itu. Gw sedih, gw seneng, campur aduk. Dan pengen banget minta maaf untuk mewakili semua orang yang bikin dunia jadi begitu keras ke dia. Gw nggak akan lupa itu.
Keindahan yang memukau
Sepulang dari pertemuan di art gallery itu, gw masih terus kebayang sebuah eksplorasi sistematis atas kondisi mental dan relasi manusia bisa dialami siapa aja, jadi pengalaman unik yang ngebentuk kualitas mereka hari ini.
Menurut gw, dari pengalaman gw sendiri, akarnya adalah kecenderungan natural manusia buat melakukan generalisasi bias berdasarkan keahlian yang dikuasai. Lalu, saat seseorang mencapai mastery dalam suatu bidang, kerangka pikirnya otomatis bikin prioritas solusi yang familiar, efisiensi kognitif yang salah tempat. Sampailah ke kesombongan kognitif. Bukan kesombongan sosial, tapi asumsi bahwa best-practice di ekosistemnya berlaku universal. Ini kayak memblokir pengakuan atas pendekatan yang berbeda, padahal realitas sering nuntut fleksibilitas instrumental. Setidaknya itu yang gw lewati.
Idealnya, berikutnya kita akan sampai pada the cost of understanding. Proses buat melampaui bias ini menuju realisasi, “oh ya gw paham”, itu adalah proses yang mahal, bahkan nggak ternilai. Individu yang akhirnya sampai di titik ini, yang bisa liat “orang lain” dengan pengelihatan 360 derajat, biasanya udah lewati pergeseran paradigma yang signifikan. Pergeseran ini nggak datang dari teori doang, tapi dari pengalaman empiris yang menekan. Sampai akhirnya seseorang bisa punya mekanisme pertahanan psikologis yang beda. Kalau umumnya orang hitung input dan output, mereka yang udah paham justru ngerti betapa berat hidden cost-nya, kerusakan, kegagalan, dan luka emosional yang sebenernya membentuk pemahaman mendalam.
Kita akan sampai pada the weight of experience. Ini kayak pengakuan bahwa pemahaman mendalam adalah produk sampingan dari penderitaan yang signifikan. Kedalaman pemahaman, kapasitas untuk pendekatan tanpa menghakimi, adalah indikasi dari perjuangan masa lalu yang kompleks. Mungkin seseorang nggak akan jadi fleksibel dan penuh pemahaman tanpa secara paksa dihadapin pada keterbatasan kerangka berpikir lamanya.
Buat gw, dari sudut pandang gw, ini seperti penyesalan strategis. Ini kayak model buat kedewasaan kognitif dan emosional. Dari sombong, transisi, lalu paham. Pemahaman muncul dari penghancuran itu sendiri, yang akhirnya menghasilkan fleksibilitas dan kasih sayang yang kontekstual.